asd
Saturday, July 27, 2024
spot_img

Kejari Bengkulu Selatan RJ Kasus KDRT

BencoolenTimes.com, – Kejaksaan Negeri (Kejari) Bengkulu Selatan melalui Bidang Tindak Pidana Umum (Pidum) melakukan Restorative Justice (RJ) terhadap kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan tersangka AN.

Kajari Bengkulu Selatan, Hendri Hanafi, SH, MH menjelaskan, dalam perkara tersebut, tersangka disangkakan pasal 44 ayat 1 subsider pasal 44 ayat 4 Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

“Perkara tersebut dilakukan penyelesaian dengan berdasarkan keadilan Restorative Justice dengan beberapa pertimbangan,” kata Hendri.

Hendri mengungkapkan, beberapa pertimbangan tersebut yaitu, tersangka baru pertama melakukan tindak pidana, tindak pidana diancam paling lama 5 tahun penjara atau denda paling banyak Rp 15 juta, tersangka menyesali perbuatannya dan tak akan mengulangi perbuatannya.

Lalu, sambung Hendri, korban memaafkan tersangka dengan suka rela, tersangka telah berdamai dengan korban, proses perdamaian dilakukan dengan musyawarah, mufakat, tanpa ada paksaan dan intimidasi dari pihak manapun.

“Penyelesaian perkara dengan RJ ini, juga atas dasar persetujuan pimpinan. Penyelesaian ini juga dituangkan dalam surat perjanjian yang disepakati korban maupun tersangka,” demikian Hendri.

Perlu diketahui, keadilan restoratif atau Restorative Justice yang telah diterapkan dalam penanganan perkara di institusi Kejaksaan bukanlah isapan jempol. Sudah ribuan perkara yang dihentikan penuntutannya melalui mekanisme keadilan restoratif. Dalam penerapan keadilan restoratif di tingkat penuntutan, Kejaksaan telah membuat instrumen hukum sebagai panduan bagi jaksa dalam penanganan perkaranya.

Dalam pelaksanaan penerapan keadilan restoratif, Kejaksaan telah menerbitkan tiga aturan yang menjadi paying hukum dan pedoman jaksa dalam menerapkan restorative justice dalam penanganan perkara.

Pertama, Peraturan Kejaksaan No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Beleid tersebut sebagai bentuk diskresi penuntutan dalam penanganan perkara dengan menerapkan keadilan restoratif. Melalui aturan internal tersebut, diharapkan jaksa dapat menggunakannya sebagai pedoman serta menyeimbangkan antara aturan yang berlaku dengan asas kemanfaatan yang bakal dicapai.

Kejaksaan pun membentuk wadah Rumah Restorative Justice atau Rumah RJ. Wadah tersebut sebagai bentuk tindak lanjut pelibatan unsur dari masyarakat dalam setiap upaya perdamaian penyelesaian perkara dengan melibatkan pihak korban, tersangka, tokoh atau perwakilan masyarakat, dan pihak lain yang terkait.

Rumah RJ berfungsi sebagai tempat dalam menyerap nilai-nilai kearifan lokal. Selain itu, upaya dalam menghidupkan kembali peran serta tokoh masyarakat, agama dan adat untuk bersama-sama dengan jaksa dalam proses penyelesaian perkara yang berorientasikan pada perwujudan keadilan subtantif.

Kedua, Pedoman Kejaksaan (Perja) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana. Pedoman tersebut sebagai panduan jaksa dalam menangani setiap perkara pidana yang melibatkan kalangan perempuan dan anak. Bahkan mengoptimalkan pemenuhan akses keadilan bagi perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum. Terlebih sebagai korban tindak pidana.

Perja 1/2021 menjadi terobosan korps adhyaksa dalam menjawab berbagai persoalan hukum. Serta kendala dalam pelaksanaan sejumlah peraturan perundangan yang ada. Seperti hambatan prosedur pembuktian kasus, kerancuan dalam menentukan posisi korban dan pelaku. Kemudian, hambatan koordinasi dengan pihak lain terkait, hambatan sumber daya manusia (SDM) jaksa yang belum memiliki cara pandang gender dan anak.

Ketiga Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa. Melalui pedoman tersebut, regulasi yang mengedepankan pendekatan restorative justice dalam penyelesaian perkara penyalahgunaan narkoba yakni dengan cara, mengobati para pecandu dan korban penyalahguna narkoba.

Penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan dengan mengedepankan pendekatan keadilan restoratif memiliki ciri khas yang menjadi pengembangan konsep restorative justice. Yang pasti, melalui konsep keadilan restoratif, Kejaksaan berupaya menyeimbangkan antara pemulihan bagi korban serta memperbaiki perilaku pelaku demi mewujudkan keadilan.

Ada sejumlah alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative yakni telah dilaksanakannya proses perdamaian dan tersangka telah meminta maaf. Kemudian pihak korban pun telah memberikan maaf kepada pelaku.

Kemudian tersangka belum pernah dihukum, baru pertama kali melakukan perbuatan pidana. Selanjutnya, ancaman pidana denda atau penjara tak lebih dari 5 tahun. Alasan lainnya, tersangka berjanji tak akan lagi mengulang perbuatannya. Begitu pula dengan proses perdamaian dilakukan secara sukarela melalui musyawarah mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi. Tak kalah penting, tersangka dan korban bersepakat untuk tidak melanjutkan persoalannya ke persidangan karena tak akan membawa banyak manfaat besar. (BAY)

Related Articles

Latest Article

admin2
admin2
Untuk Informasi lebih lanjut tentang berita yang anda baca silahkan menghubungi kami. +6281382248493
error: Opss tulisan ini dilindungi Hak Cipta !!