BencoolenTimes.com – Memahami akar masalah sebelum bertindak, hal ini sangatlah penting bagi petani untuk memahami penyebab ketimpangan harga Tandan Buah Segar (TBS) Sawit di Provinsi Bengkulu dan harga Crude Palm Oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mentah.
Karena keduanya, mulai dari Buah Sawit, memiliki Mata Rantai distribusi yang cukup panjang, dari Tengkulak, Pengumpul, hingga Pabrik Pengolahan.
Pabrik CPO atau Perusahaan Kelapa Sawit (PKS), cenderung menetapkan harga sepihak karena tidak bermitra, apalagi terhadap petani non-kemitraan. Sehingga, petani belum tersertifikasi (ISPO/RSPO) biasanya dianggap kurang layak mendapatkan harga premium.
‘’Maka perlu pemerintah membiayai ini melalui kelembagaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Badan ini merupakan lembaga non-eselon di bawah Kementerian Keuangan yang bertugas mengelola dana yang berasal dari pungutan ekspor CPO (Crude Palm Oil) untuk pengembangan sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia,’’ sampai Akademisi Fakultas Pertanian Universitas Dehasen Bengkulu, Eko Sumartono.
Diungkapkan Eko, tidak adanya posisi tawar petani, biasanya karena memang penjualan skala kecil dan tidak kolektif. Sehingga perlu adanya strategi yang diterapkan secara solutif dan praktis.
Diantaranya, perkuat kelembagaan petani dengan langkah-langkah, yaitu bentuk koperasi, gapoktan atau badan usaha milik petani. Selanjutnya kolektifkan TBS untuk dijual langsung ke PKS besar atau eksportir.
‘’Ajukan perizinan kelembagaan resmi agar bisa menjadi mitra dagang langsung, bukan sekadar pemasok. Bisa dilihat nanti hasilnya, yaitu petani bisa mendapatkan harga penjualan mendekati harga referensi KPBN, bukan harga tengkulak,’’ ungkap Eko.
Kemudian, dijelaskan Eko, strategi selanjutnya yaitu melakukan negosiasi langsung dan skema kemitraan formal, dengan melakukan kemitraan resmi bersama pabrik atau perusahaan sawit (inti-plasma atau kemitraan pemasok) melalui dorongan pemerintah.
Apabila pabrik tidak mau, maka kembalikan ke permen 2024, dengan membuat kontrak jual-beli jangka panjang dengan skema pembagian hasil yang transparan.
‘’Sebagai pendukung, gunakan Lembaga Penjamin Kredit Daerah (LKPED) atau Dinas Perdagangan sebagai mediator. Contohnya seperti kemitraan petani dengan PT. Astra Agro Lestari yang menghasilkan harga TBS lebih stabil, disertai pembinaan teknis dan benih unggul,’’ jelas Eko.
Strategi selanjutnya, ungkap Eko, optimalkan teknologi dan akses informasi harga. Untuk solusi digital, bisa dipakai Aplikasi Info Sawit, SIPPO atau Siperibu untuk memantau harga harian TBS serta CPO setiap hari.
Jika ada disparitas tinggi, bisa segera laporkan ke Satgas Komoditas atau Dinas Perdagangan setempat. Dengan tujuan, supaya petani tidak dibodohi harga lokal/harga pabrik semaunya saat harga internasional tinggi.
Strategi lain, dengan melakukan Hilirisasi Skala Mikro, yang contoh implementasinya, dengan membuat unit olahan kecil seperti minyak goreng desa, sabun, pupuk organik dari limbah sawit, melalui skema BUMDes dan Dana Desa, serta lainnya.
‘’Hilirisasi skala mikro ini bisa dengan skema CSR BUMDes, Dana Desa atau Dana PUAP untuk bangun mini refinery lokal. Dengan begini dampaknya nanti, ini menaikan nilai tambah dari TBS dan petani tidak sepenuhnya bergantung pada pembeli besar,’’ ungkap pria yang diketahui sebagai Pendiri Yayasan Lestari Alam Laut Untuk Negeri (LATUN) yang bergerak di bidang konservasi pesisir pantai.
Tidak hanya itu, sambung Eko, upaya lainnya untuk membangu petani kecil, dengan mendorong sertifikasi dan perbaikan tatap kelola Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
Dimana sertifikasi ini bukan hanya soal lingkungan, tapi akses pasar premium dan kemitraan internasional. Sehingga petani bisa mengakses pelatihan dari NGO seperti Setara Jambi, SPKS atau Yayasan Inobu.
Dengan begitu, Petani dengan ISPO/RSPO mendapat harga 10–15% lebih tinggi. Serta bisa diikutkan dalam rantai pasok berkelanjutan oleh buyer global.
Namun begitu, juga harus ada advokasi dan tekankan kepada pemrintah untuk bisa mengambil langkah konkret. Mulai dari membentuk Forum Petani Sawit Daerah dan desak Pemerintah Daerah untuk menerapkan harga TBS dengan acuan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait.
‘’Minta bantuan mediasi dari Badan Karantina Pertanian atau Kementerian Perdagangan. Tujuannya supaya ada regulasi tegas dan audit terhadap pabrik-pabrik yang membeli di bawah standar,’’ sambung Eko.
Ditambahkan Eko, dengan penjelasan diatas diharapkan bisa memunculkan kesimpulan strategis berupa akar masalah dan solusinya. Jika Harga TBS tidak sesuai harga CPO, bisa bentuk koperasi, jual langsung ke PKS.
Kemudian, jika daya tawar lemah, lakukan kemitraan resmi dan kolektif, jikapun harga tidak transparan, bisa manfaatkan aplikasi harga dan laporkan jika terjadi disparitas harga.
‘’Lalu adanya ketergantungan pada pembeli tunggal, diversifikasi dengan hilirisasi dan produk turunan. Tidak punya akses pasar premium, tinggal Sertifikasi ISPO dan perbaikan tata kelola kebun petani,’’ demikian Eko.(OIL)