21.5 C
New York
Sunday, September 21, 2025

Buy now

spot_img

Pengaruh Perubahan UU Merek dan Paten Pasca Berlakunya UU Ciptaker Dalam Meningkatkan UMKM di Indonesia

Oleh Mengga Yosi
(2220112009)

Sejak diajukannya  Rancangan  Undang-Undang (RUU) mengenai Cipta Kerja pada tahun 2020, nyatanya telah  menimbulkan  berbagai  polemik  pro  kontra  yang menyertainya. RUU Cipta  Kerja  ini pada waktu itu dinamakan sebagai UU Sapu Jagad, dimana istilah ini digunakan  sebagai penamaan dari suatu kebijakan yang berkaitan dengan beberapa ketentuan dalam rangka mengamandemen sejumlah UU lainnya. UU Cipta Kerja tersebut mencakup beberapa undang-undang yang ada dan mampu menggantikan isi-isi dari pasal yang terdapat dibeberapa peraturan yang digabungkan menjadi satu kesatuan hingga menjadi Omnibus Law. Lahirnya undang-undang ini diharapkan akan mengakselerasi pemulihan ekonomi mulai tahun 2021 dan mampu merampingkan hyper regulation yang menjadi hambatan pertumbuhan investasi Indonesia.

Disahkan dan diberlakukannya UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang saat ini telah diperbaharui dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (selanjutnya dalam tulisan ini disebut UU Cipta Kerja) telah berimplikasi secara substansial terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Peraturan perundang-undangan yang terkena implikasi diantaranya ketentuan UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (selanjutnya dalan tulisan isi disebut UU Merek) dan UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten (selanjutnya dalam tulisan ini disebut UU Paten).

Pengaruh disahkan dan diberlakukannya UU Cipta Kerja terhadap UU Merek dan Paten, tentunya membawa dampak terhadap pengaturan merek dan paten di Indonesia. Pengaruh ini dapat bersifat positif dan negatif. Pengaruh positif dan negatif ini pada dasarnya akan berimbas kepada pihak-pihak yang terkait dengan pengaturan merek dan paten. Salah satu pihak yang terkait tersebut adalah UMKM
A. Perubahan UU Merek Dan UU Paten Pasca Pemberlakukan UU Cipta Kerja.

Pada perkembangannya, pemberlakuan UU Cipta Kerja telah membawa pengaruh kepada ketentuan UU Merek dan UU Paten di Indonesia. Adapun ketentuan UU Merek Indonesia tertuang di dalam ketentuan UU No. 20 Tahun 2016, sedangkan ketentuan UU Paten Indonesia tertuang di dalam ketentuan UU No. 13 Tahun 2016.

Perubahan ketentuan UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek pasca berlakunya UU Cipta Kerja :
Dalam hal penambahan substansi, yang awalnya terdapat pada Pasal 20 UU Merek ditambahkan substansinya sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 108 UU dimana pada huruf g dinyatakan merek yang tidak terdaftar adalah mengandung bentuk yang bersifat fungsional.

Dalam hal penyempurnan substansi dalam Pasal 23 ayat (5) dan (8) UU Cipta Kerja. sebelumnya pada UU Merek batas waktu pemeriksaan substantif merek harus diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 150 hari, sedangkan di aturan baru dalam UU Cipta Kerja pemeriksaan substantif merek harus diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 30 hari dan paling lama 90 hari.

Dalam hak yang mengalami penghapusan sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 25 UU Cipta Kerja yang menghapus Pasal 25 ayat (3) UU Merek yang berbunyi :  Dalam hal sertifikat merek yang telah diterbitkan tidak diambil oleh pemilik merek atau kuasanya selama 18 (delapan belas) bulan dianggap ditarik kembali dan dihapuskan.
Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten pasca berlakunya UU Cipta Kerja :
Secara materi ada begian dari Pasal 122 ayat (2) UU Paten yang dihapuskan oleh Pasal 122 UU Cipta Kerja dalam hal “…paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan paten sederhana…”.

Dalam hal penggantian substansi termuat diantaranya pada Pasal 20 UU Kemudian diganti dengan Pasal 20 UU Cipta Kerja yang selanjutnya berbunyi :  “(1). Paten wajib dilaksanakan di Indonesia, (2). Pelaksanaan paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ialah sebagai berikut : a. pelaksanaan paten produk yang meliputi membuat, mengimpor atau melisensikan produk yang diberikan paten, b. pelaksanaan paten proses yang meliputi membuat, melisensikan atau mengimpor produk yang dihasilkan dari proses yang diberikan paten, atau c. pelaksanaan paten metode, sistem dan penggunaan yang diberikan paten”.

Sementara itu pasal yang menambahkan substansi diantaranya penambahan 123 UU Paten yang terdiri dari 3 ayat ditambahi oleh Pasal 123 menjadi 4 ayat di dalam UU Cipta Kerja. Dalam Pasal 123 ayat (4) UU Cipta Kerja  berbunyi : “Dikecualikan terhadap ketentuan dalam Pasal 49 ayat (3) dan ayat (4) bahwa keberatan terhadap permohonan paten sederhana langsung digunakan sebagai tambahan bahan pertimbangan dalam tahap pemeriksaan substantive”.

B. Pengaruh Perubahan UU Merek Dan UU Paten Pasca Pemberlakukan UU Cipta Kerja
Dalam segi positif ketika UU Cipta Kerja disahkan dan diberlakukan maka penyempurnaan persyaratan dan penyederhanaan waktu untuk proses permohonan pendaftaran merek dan paten. Dalam segi negatif ketika UU Cipta Kerja telah mengganti isi ketentuan Pasal 20 UU Paten, penghapusan Pasal 20 UU Paten sendiri didasarkan pada argumen bahwa kewajiban transfer teknologi dalam hal membuat produk di Indonesia dinilai akan menghambat investasi asing. Alasan mengapa perubahan Pasal 20 UU Paten memberikan negatif bagi UMKM.

Pertama, dengan digantinya isi Pasal 20 UU Paten, maka UMKM yang semstinya dapat berdampak dengan adanya alih teknologi menjadi tidak terdampak alih teknologi. Alhasil, dukungan teknologi kepada UMKM menjadi minim dan konsekuensinya UMKM dalam menjalankan kegiatan usahanya menjadi rendah dalam hal daya saing.

Kedua, dengan pergantian isi Pasal 20 UU Paten ternyata justru memberikan legitimasi hukum kepada perusahaan asing untuk memproduksi invensi dalam bidang teknologi di luar negeri dan kemudian dalam hal pemasaran mereka sangat terbuka memanfaatkan pasar dalam negeri, termasuk di dalamnya pasar UMKM. Terkait dengan hal ini, menghapus Pasal 20 UU Paten dinilai justru bukan menjadi sebuah solusi.

Mengapa? karena dengan dihapuskannya kewajiban pemegang paten untuk mendirikan pabrik atau melakukan proses di Indonesia justru dikhawatirkan akan menimbulkan adanya pemblokiran paten (paten blocking), dimana perusahaan tidak perlu menginvestasikan apapun karena tidak ada kewajiban produksi lokal sehingga menyebabkan produk yang dipatenkan menjadi tidak dapat diakses atau dinikmati oleh masyarakat.

* Penulis Adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum
Universitas Andalas

* menggayosi1122@gmail.com

* Dosen Pengampu : Dr. Misnar Syam, S.H.,M.H.

admin2
admin2
Untuk Informasi lebih lanjut tentang berita yang anda baca silahkan menghubungi kami. +6281382248493

Popular Articles

Stay Connected

0FansLike
3,671FollowersFollow
0SubscribersSubscribe

Latest Articles

error: Opss tulisan ini dilindungi Hak Cipta !!