AIR mata Yuniar terus membasahi wajahnya. Dilap dengan jilbab, menetes lagi. Berkali-kali dia menghela nafas.
Catatan Dewa (Dedy Wahyudi), Kota Bengkulu
YUNIAR seolah tak percaya kami mendatangi rumahnya. Matanya tampak memerah karena menagis sepanjang acara.
Yuniar awalnya tinggal di rumah bedeng. Karena tak mampu lagi membayar sewa, dia mendirikan rumah di pinggir siring.
Dibantu warga, berdirilah rumah beratap seng bekas dan sebagian rumbia. Lantai tanah. Tanpa listrik. Jika hujan, air masuk ke dalam rumah.
Suaminya, Harmaizi sakit paru-paru. Harus rutin berobat. Praktis dia menjadi tulang punggung keluarga. Banting tulang untuk menghidupi suami dan 2 anaknya.
Pagi usai subuh, Yuniar mengambil upah mencuci di rumah tetangga. Selepas itu Yuniar ngojek hingga malam.
“Terimakasih. Pak Dedy, Pak Kapolda, Pak Kapolres, Pak Baznas. Aku ini sering dihina. Laki sakit,” ucapnya sembari terisak.
Kami yang hadir pun tak terasa mata ini basah. “Bu Yuniar tidak sendiri. Ada kami di sini. Ibu tetap harus bersyukur,” saya berusaha menenangkan.
Saat peletakan batu pertama rehab rumah, saya mengajak Bu Yuniar dan suaminya. “Ayo Bu, kita letakkan batu pertama,” ajak saya.

Bedah rumah ini kolaborasi Yayasan Polres Bengkulu, DTT/SMDE, DPD REI dan Baznas Kota Bengkulu. Di APBD Kota juga dianggarkan program bedah rumah.
Kepada Lurah, Camat sering kami sampaikan. Mari kita peduli dengan sesama. Warga sekitar harus peduli dengan tetangganya.

Jangan cuek. Beritahu Lurah atau camat jika ada warga yang rumahnya yang perlu dibantu. Ada Baznas dan Pemkot yang siap membantu.
Sahabat saya Helmi Hasan sering berpesan. “Kando, mumpung Allah kasih amanah, maka berbuat dan bantulah orang tidak mampu,” ajak Helmi Hasan.
Sebab, Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Khairunnas anfa’uhum linnas. (**)
Penulis adalah wartawan senior Bengkulu dan Plt Walikota Bengkulu