BencoolenTimes.Com, – Dugaan perbuatan melawan hukum antara Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) melawan tergugat PT. Kusuma Raya Utama (KRU) dan turut tergugat, Gubernur Provinsi Bengkulu, memasuki tahapan pembuktian Kamis (24/1/2019) lalu. Walhi menghadirkan ahli Hukum Pertambangan dari Fakultas Hukum, Universitas Tarumanegara Jakarta, Dr. Ahmad Redi, SH, MH.
Dalam keterangannya Ahmad Redi mengatakan bahwa hutan konservasi yang merupakan kawasan pelestarian, pengawetan, penelitian, pariwisata serta rekreasi alam, tidak dapat diganggu dengan aktivitas pertambangan, “Haram hukumnya apabila suatu kawasan konservasi di dalamnya terdapat aktivitas pertambangan,” tuturnya.
Redi menambahkan hutan konservasi di dalam pola ruang, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan kawasan lindung tidak dibenarkan untuk dilakukan kegiatan budidaya (pertambangan). Terdapat Hukum Pidana Tata Ruang apabila suatu pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan perencanaan tata ruang, yang tertuang di dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota, karena fungsi lindung merupakan penyangga kehidupan bagi masyarakat di sekitarnya dan juga masyarakat di bagian hilir.
Gugatan perbuatan melawan hukum yang dilayangkan Walhi Bengkulu kepada PT. Kusuma Raya Utama dan Gubernur Bengkulu merupakan gugatan Perdata Lingkungan Hidup, bertujuan menghentikan aktivitas pertambangan dalam Kawasan Hutan Konservasi Taman Buru Semidang Bukit Kabu dan Pencemaran Anak Sungai Kemumu, yang merupakan anak sungai DAS Air Bengkulu.
Dalam gugatan Walhi ini Kawasan Konservasi Taman Buru Semidang Bukit Kabu yang semestinya tidak dapat dilakukan aktivitas pertambangan, baik dengan pola terbuka maupun bawah tanah, namun pada faktanya pemerintah Provinsi Bengkulu mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi pada Hutan Konservasi tersebut, dan diduga menyebabkan kerusakan pada kawasan hutan tersebut serta pencemaran air Sungai Kemumu, yang merupakan anak sungai DAS Bengkulu dan juga bahan baku PDAM Kota Bengkulu yang dikonsumsi 9.805 sambungan air di Kota Bengkulu.
“Apabila aktivitas pertambangan pada Kawasan Hutan Konservasi yang merupakan penghasil oksigen dan merupakan kawasan penyangga kehidupan pada bagian hulu tidak dihentikan, maka dapat diperkirakan seratus tahun lagi anak, cucu serta cicit yang merupakan generasi penerus tidak dapat lagi menikmati bebasnya menghirup oksigen, bisa seratus tahun lagi oksigen kita beli seperti membeli air mineral dalam botolan,” tutupnya.
Walhi Bengkulu juga akan menghadirkan saksi ahli yang akan berbicara masalah Hak Asasi Manusia, terhadap Lingkungan Hidup pada persidangan yang akan dilaksanakan Senin (28/1/2019).
Dede Frastien, Manager Kampanye Industri Ekstraktif Walhi Bengkulu mengatakan, dalam sidang selanjutnya Walhu akan menghadirkan ahli yang akan membahas masalah Hak Asasi Manusia terhadap Lingkungan Hidup, Ridha Saleh. Mantan Wakil Ketua I Bidang Internal Komisi Nasional (KOMNAS HAM) ini akan banyak berbicara masalah HAM atas Lingkungan Hidup dan Ekosida.
Ekosida merupakan perusakan yang luas pada perusakan atau hilangnya ekosistem dari suatu wilayah, baik oleh manusia atau lainya (Badan Hukum), sedemikian rupa sehingga kenikmatan damai oleh masyarakat di wilayah tersebut akan hilang ataupun berkurang,” jelas Dede.
Dede menambahkan, usaha memperjuangkan keadilan lingkungan bagi seluruh masyarakat Bengkulu dari Hulu, Tengah dan Hilir, Walhi mengharapkan dukungan masyarakat Provinsi Bengkulu, khususnya masyarakat yang terdampak langsung, karena gugatan ini merupakan gugatan seluruh masyarakat Bengkulu untuk mewujudkan keadilan lingkungan dari generasi ke generasi, “Serta yang paling terpenting adalah masyarakat Bengkulu dapat terhindar dari bencana ekologis seperti banjir dan juga longsor akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan, terlebih dampak pencemaran air tersebut juga dirasakan oleh 9805 Rumah konsumen PDAM di Kota Bengkulu yang seharusnya mendapatkan jaminan air bersih dan sehat,” tutupnya. (RELEASE WALHI)