21.5 C
New York
Sunday, September 21, 2025

Buy now

spot_img

Pertanggungjawaban Perseroan Perorangan Sebagai Badan Hukum

Oleh Putri Mayang Sari
(2220112009)

Pada 31 Maret 2023 pemerintah telah mengesahkan dan mengundangkan Perpu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.

Konsep Omnibus Law di Indonesia belum lama ini direalisasikan pada maret 2023 lalu atas penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang menyederhanakan dan mengubah beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang sudah berlaku menjadi satu payung hukum.

Salah satu tujuan pemerintah dalam Undang-Undang tersebut adalah meningkatkan kemudahan berusaha, terutama bagi sektor Usaha Mikro, dan Kecil (UMK). Dalam Undang-Undang Cipta Kerja diatur mengenai jenis badan hukum baru yaitu Perseroan Perorangan. Aturan ini terdapat pada bagian kelima, pada klaster Perseroan Terbatas Pasal 109 mengenai perubahan dan penambahan beberapa ketentuan pasal dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal yang diubah adalah Pasal 1,  Pasal 7 penambahan angka (8) dan Pasal 32, Serta terjadi penambahan 10 Pasal mulai dari Pasal 153A sampai dengan Pasal 153J.

Undang-Undang Cipta Kerja tidak memberikan suatu definisi tersendiri dari jenis Perseroan yang baru terbentuk ini. Melalui Undang-Undang Cipta Kerja terdapat sebuah mekanisme yang dianggap baru di Indonesia, hal tersebut telah tertanam sebuah pemikiran tentang sebuah pendirian Perseroan Terbatas adalah sebuah perkumpulan sero (modal) yang konsekuensi dari perkumpulan modal tersebut ialah pendirian dan kepemilikan saham suatu Perseroan wajib oleh dua orang atau lebih.

Dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang telah dirancang sebuah aturan baru mengenai pendirian dan operasinal Perseroan terbatas bagi UMK oleh satu orang pendiri atau pemegang saham.

Sebelumnya, ketentuan pendirian Perseroan Terbatas pada Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 7 ayat (1) harus didirikan oleh minimal 2 (dua) orang atau lebih dan membuat akta pendirian dengan menggunakan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Namun dewasa ini adanya perubahan pendirian Perseroan Perorangan yang  dilakukan sesuai dengan mekanisme baru dalam pendirian sebuah Perseroan Perorangan berdasarkan Pasal 153A angka (2) Undang-Undang Cipta Kerja.

Dapat diartikan, bahwasannya sekarang ini sangat efesien apabila ada masyarakat yang ini mendirikan sebuah Perseroan. Namun jika dilihat secara luas dari definisi Perseroan Perorangan yang kurang jelas tersebut dapat menimbulkan kerancuan pada praktiknya nanti. Hal tersebut berkaitan juga dengan kedudukan hukum Perseroan Perorangan dalam hal ini hanya di definisikan sebagai badan hukum Perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil saja. Kedudukan hukum Perseroan Perorangan sebagai badan hukum juga belum jelas apakah memenuhi unsur, ciri dan karakteristik sebuah badan usaha perorangan bisa dikatakan sebagai badan hukum menurut norma hukum yang berlaku di Indonesia.

Pengakuan Perseroan Perorangan sebagai entitas perseroan yang baru tentunya akan menimbulkan suatu konsekuensi yang akan mengikutinya seperti bentuk pertanggungjawaban Perseroan Perorangan dalam melakukan aktivitas usahanya. Kedudukan dari pada badan hukum itu sendiri yang akan menentukan sebatas mana pertanggungjawaban Perseroan sebagai badan hukum dan sebatas mana pertanggungjawaban pemegang sahamnya selaku direksi dalam Perseroan Perorangan tersebut.

Jika kita lihat dari sudut rinsip Perseroan yang sangat pengedepankan prinsip limited liability, dimana pengelolaan Perseroan Terbatas harus dikendalikan oleh dua orang/lebih. Hal tersebut penting untuk menjalankan fungsi “check and balances” atau pengendalian dan keseimbangan dalam tiap pengambilan keputusan yang strategis bagi Perseroan Terbatas.

A.Pertanggungjawaban Perseroan Perorangan sebagai Badan Hukum

Sesuai konsep badan hukum dengan kenyataan yuridisnya perseroan perorangan telah termuat prinsip limited liability sebagaimana Pasal 153 J Ayat (1) UUPT yang diperbaharui UU Cipta Kerja, Pasal tersebut menyatakan bahwa: “Pemegang saham Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki”.

Terhadap pasal tersebut, perlu diketahui makna limited liability terkait dengan tanggung jawab yuridis atau tanggung jawab hukum, yaitu tanggung jawab secara hukum yang harus diemban oleh seseorang akibat melakukan tindakan hukum. Dalam hal perseroan perorangan merupakan tanggung jawab hukum yang harus diemban akibat perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemegang saham/ pendiri dan Direktur Sedangkan tanggung jawab terbatas merupakan pengertian yang berkaitan dengan terjadinya suatu utang atau kerugian-kerugian. Untuk peristiwa tertentu, perlu adanya penyingkiran prinsip separate (keterpisahan) PT dari pemegang saham yakni dengan cara menembus tabir perseroan terhadap perisai tanggung jawab terbatas.

Akibat hukum terhadap pengungkapan tersebut, dapat diistilahkan sebagai piercing the corporate veil. Itu berarti bahwa tanggung jawab pemegang saham dalam hal keterbatasan itu tidak berlaku, sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 153 J ayat (2) UU Cipta Kerja yang menyatakan bahwa ketentuan tanggung jawab terbatas pemegang saham perseroan perorangan untuk UMK tidak berlaku apabila, pertama, belum atau tidak terpenuhinya persyaratan perseroan sebagai badan hukum, kedua, baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk pemegang saham memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi, ketiga, pemegang saham tersangkut dalam perbuatan melawan Hukum.

B. Pertanggungjawaban Pemegang Saham Selaku Direksi Perseroan Perorangan

Mengenai pertanggungjawaban perseroan perorangan sebagai subjek hukum terdapat pengaturan yang belum jelas dan spesifik. Hal itu bisa dilihat dari konsep teori kenyataan yuridis dalam peraturan UU PT yang diperbaharui UU Cipta Kerja bahwa mengenai pertanggungjawaban direksi, UU terkait tidak mengaturnya, namun secara eksplisit ketentuan dinyatakan dalam UU Perseroan Terbatas mengenai peran direksi dan pertanggungjawabannya. Hal tersebut menjadi acuan, mengingat Pasal 109 UU Cipta Kerja tetap merujuk kepada UU Perseroan Terbatas. Selain direksi, salah satu organ Perseroan adalah pemegang saham, yang merupakan orang perseorangan, dan bukan subjek hukum, serta hanya diperbolehkan 1 (satu) orang pemegang saham. Yang menarik dalam perseroan perorangan ini adalah adanya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang disebutkan dalam Pasal 153C ayat (1) dan Pasal 153G ayat (1) dan ayat (2), baik pada saat pernyataan pendirian serta pembubaran perseroan perorangan.

Umumnya dalam PT biasa pemegang saham adalah lebih dari 1 (satu) orang, sedangkan dalam Perseroan perorangan dimana pemegang saham adalah hanya ada 1 (satu) orang saja. Dengan demikian, secara gramatikal bahwa RUPS dalam Perseroan perorangan adalah seorang pemegang saham saja, dan dalam hal direksi dan pemegang saham adalah orang yang sama, UU Cipta Kerja memungkinkan hal tersebut. Lebih lanjut, mengenai pertanggungjawaban nya prinsip hukum yang ada tidak melarang pemegang saham merangkap sebagai direksi. Hal tersebut hanya dapat saja mengakibatkan adanya percampuran kepentingan pribadi terhadap perseroan dan menjadi semunya batas-batas pertanggungjawaban antara direksi perseroan dan pemegang saham perseroan.

Karakteristik utama perseroan terbatas yang membedakannya dengan badan usaha yang lain adalah tanggung jawab pemegang sahamnya hanya terbatas sebesar modal yang disanggupi. Kemudian, terhadap limited liability pada perseroan perorangan melanggar ketentuan prinsip separate entity yang pada dasarnya adalah sebuah prinsip yang membentuk prinsip limited liability. Sesuai dengan prinsip separate entity, segala tindakan perseroan tidak termasuk dalam tindakan pemegang saham. Begitu pula dengan tanggung jawab dan kewajiban perseroan yang bukan termasuk tanggung jawab pemegang saham.

Pada prinsipnya Direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama perseroan berdasarkan wewenang yang dimilikinya. Hal ini karena perbuatan Direksi dipandang sebagai perbuatan Perseroan yang merupakan subjek hukum mandiri sehingga perseroanlah yang bertanggung jawab terhadap perbuatannya perseroan itu sendiri yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Direksi. Dikarenakan adanya tanggung jawab terbatas yang merupakan ciri khas dari PT, sehingga PT yang harus bertanggung jawab terhadap perikatan yang dibuat antara Perseroan dengan pihak ketiga. Prinsip tanggung jawab terbatas inilah yang seringkali dijadikan banyak orang untuk memilih bentuk badan hukum PT, karena dengan menggunakan konstruksi PT maka dapat memperkecil risiko kerugian yang mungkin timbul.

Atas dasar motivasi ini maka dalam beberapa hal orang dengan sengaja untuk satu jenis usaha memilih satu bentuk PT tersendiri. Bahkan terkadang untuk satu jenis usaha diselenggarakan dalam dua atau tiga PT tersendiri. Perihal pertanggungjawabannya secara pribadi dalam hal terjadi kerugian PT apabila kerugian PT tersebut disebabkan karena kesalahan/kelalaian yang dilakukan Direksi dalam melakukan tugas pengurusan PT sehingga demi hukum akan dijatuhkan beban tanggung jawab pribadi terhadap Direktur yang bersalah/lalai tersebut Hendaknya legislatif dan pemerintah dapat menanggapi persoalan yang terjadi mengenai ketidakpastian hukum pada pertanggungjawaban dan tata kelola perseroan perorangan.

Mengingat, dalam pelaksanaanya masih berpotensi adanya percampuran pribadi pendiri terhadap pertanggungjawaban perseroan, hal itu dikarenakan adanya rangkap jabatan terhadap organ perseroan yaitu pendiri/pemegang saham sekaligus sebagai direksi perseroan. Para pembuat kebijakan seharusnya responsif untuk memperkuat regulasi tersebut untuk menghindari celah hukum yang masih banyak terdapat pada pengaturan pertanggungjawaban terbatas yang tentunya akan berdampak pada tata kelola perusahaan yang pengaturannya masih terbilang sangat minim.

Dapat dipahami, pada prinsipnya Direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama perseroan berdasarkan wewenang yang dimilikinya. Hal ini karena perbuatan Direksi dipandang sebagai perbuatan Perseroan yang merupakan subjek hukum mandiri sehingga perseroanlah yang bertanggung jawab terhadap perbuatannya perseroan itu sendiri yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Direksi. Dikarenakan adanya tanggung jawab terbatas yang merupakan ciri khas dari PT, sehingga PT yang harus bertanggung jawab terhadap perikatan yang dibuat antara Perseroan dengan pihak ketiga.

Prinsip tanggung jawab terbatas inilah yang seringkali dijadikan banyak orang untuk memilih bentuk badan hukum PT, karena dengan menggunakan konstruksi PT maka dapat memperkecil risiko kerugian yang mungkin timbul. Atas dasar motivasi ini maka dalam beberapa hal orang dengan sengaja untuk satu jenis usaha memilih satu bentuk PT tersendiri. Bahkan terkadang untuk satu jenis usaha diselenggarakan dalam dua atau tiga PT tersendiri. Perihal pertanggungjawabannya secara pribadi dalam hal terjadi kerugian PT apabila kerugian PT tersebut disebabkan karena kesalahan/kelalaian yang dilakukan Direksi dalam melakukan tugas pengurusan PT sehingga demi hukum akan dijatuhkan beban tanggung jawab pribadi terhadap Direktur yang bersalah/lalai tersebut.

* Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Andalas

* putrimyangsari712@gmail.com

* Dosen Pengampu: Dr. Misnar Syam, S.H., M.H

admin2
admin2
Untuk Informasi lebih lanjut tentang berita yang anda baca silahkan menghubungi kami. +6281382248493

Popular Articles

Stay Connected

0FansLike
3,671FollowersFollow
0SubscribersSubscribe

Latest Articles

error: Opss tulisan ini dilindungi Hak Cipta !!