Oleh: Zico Junius Fernando
PASAL 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan menyebutkan bahwa Pajak Karbon (carbon tax) merupakan pajak yang dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak yang negatif bagi lingkungan hidup. Mengingat perubahan iklim global akibat emisi CO2 antropogenik dan pertumbuhan konsumsi energi Indonesia yang cenderung tak terkendali. Transformasi dan peningkatan konsumsi energi untuk pengurangan emisi karbon akan menjadi isu penting dan dieksplorasi karena konsumsi energi di Indonesia menyebabkan emisi karbon yang mengkhawatirkan. Belum lagi kegiatan antropogenik dari pemanfaatan bahan bakar fosil dilaporkan telah menghasilkan implikasi atau berakibat pada kesehatan yang serius. Pajak karbon merupakan salah satu bukti kebijakan dalam bidang energi yang rasional dan dapat dikembangkan dengan memahami pola konsumsi energi, ini juga untuk membantu meningkatkan kesadaran akan efisiensi energi dan pengurangan emisi.
Pajak karbon dilakukan dengan cara bertahap mulai tahun 2021 dengan pemberlakuan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dilanjutkan pada tahun 2022 dengan penetapan pajak karbon secara terbatas (limited) pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batubara. Selain Undang-Undang, ada Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 98 Tahun 2021 yang merupakan Kerangka Operasional Nilai Ekonomi Karbon memberikan 2 (dua) skema mekanisme yakni dengan mekanisme cap and trade dan cap and tax. Beberapa aturan juga sedang dibuat untuk berlakunya pajak karbon di Indonesia.
Tujuan utama dari penerapan pajak karbon ini bukan hanya untuk menambah pendapatan negara semata, tetapi juga melakukan pengendalian iklim dalam menyukseskan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sesuai prinsip polluter pays principle, dimana prinsip ini menekankan bahwa pihak yang melakukan pencemaran akan menanggung harga pencemaran yang dikeluarkan dengan harga nilai ekonomi karbon. Isu iklim dan lingkungan hidup seperti yang diketahui merupakan isu yang memang menyasar semua sektor, sehingga diharapkan bahwa para pelaku aktivitas ekonomi dimasa yang akan datang beralih dari aktivitas ekonomi yang tidak ramah lingkungan menjadi aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.
Hasil dari terkumpulnya pajak karbon bisa digunakan untuk membiayai mitigasi perubahan iklim yang sedang terjadi, perbaikan dan pembangunan dalam sektor lingkungan hidup, investasi yang ramah terhadap lingkungan dan program-program pro rakyat lainnya yang menyasar masyarakat serta kepentingan banyak orang. Adanya pajak karbon juga dapat menambah biaya produksi untuk energi yang berbahan dasar fosil seperti bensin, batu bara, dan gas alam yang hingga detik ini menjadi sumber energi termurah, sehingga dengan adanya pajak karbon, new renewable energy dapat bersaing ketat. Ini juga sesuai dengan tujuan pembangunan berlanjut/ sustainable development goals (SDGs) atau global goals pada tahun 2030 dari Negara Indonesia yakni tertuang dan terlihat dalam tujuan ke-13 terkait penanganan iklim (climate tackle).
Dalam pelaksanaanya pemeritah Indonesia memang wajib memperhatikan beberapa hal yang sangat menentukan kebijakan ini berhasil atau tidak, seperti transisi ekonomi terkait dengan pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 yang sedang dialami oleh semua bangsa dan negara di Dunia, selain itu melihat dan memperhatikan prioritas penerapan pajak karbon, melihat nationally determined contribution (NDC) yang dimana Indonesia pada tahun 2030 mempunyai komitmen untuk menurunkan emisi hingga 29 % dengan kemampuan sendiri dan 41 % dengan dukungan dunia internasional dan melihat net zero emission (NZE) yang ditargetkan Indonesia pada tahun 2060. Selain itu bagaimana perkembangan pasar karbon di Indonesia, kesiapan sektor yang akan dikenakan pajak karbon juga perlu diperhatikan. Ini dilihat agar penerapan pajak karbon yang akan segera berlaku di Indonesia dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat yang sesuai dengan UUD NRI 1945 dan Pancasila sebagai grund norm/ staatsfundamental norm, terjangkau dalam penerapannya serta tetap mengutamakan kepentingan masyarakat yang merupakan embrio dasar dari penerapan pajak karbon.
Negara Indonesia salah satu negara yang memiliki kontribusi emisi karbon terbesar di Dunia mempunyai tanggung jawab dalam upaya gerakan terkait perubahan iklim (climate change), pengurangan emisi karbon (carbon emission) dan pemanasan global (global warming) yang sesuai dengan amanah dan tujuan dari The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Rio de Janeiro, Brazil (tahun 1992) dan sesuai dengan Paris Aggrement di Paris, Perancis (tahun 2015). Penerapan pajak karbon di Indonesia sebagaimana data yang di keluarkan oleh Bank Dunia (World Bank) tergolong rendah dibandingkan dengan beberapa negara yang telah menerapkan pajak karbonnya. Pada tahun 2021 tercatat 35 negara yang sudah menerapkan dan secara global dihitung dengan satuan Dollar dari per CO2e seperti Negara Swedia yang menerapkan pajak karbon sebesar US$ 137 per tCO2e, diikuti Swiss dengan US$ 101 per tCO2e dan Liechtenstein dengan US$ 101 per tCO2e, tiga negara ini menjadi negara yang paling tinggi dalam menerapkan pajak karbon dengan hitungan diatas US$ 100 sedangkan negara lainya seperti Finlandia, Norwegia, Perancis, Luxemburg, Irlandia, Belanda, Islandia, Kanada, Portugal, Denmark, Inggris, Slovenia, Spanyol, Latvia, Afrika Selatan, Argentina, Singapura, Meksiko, Jepang, Estonia, yang dimana menerapkan pajak karbon dibawah US$ 100 per tCO2e termasuk didalamnya Indonesia. Ini memang perlu dikaji lebih lanjut kedepanya, untuk awal-awal penerapan pajak karbon mungkin baik, namun kedepan perlu diperhatikan bahwa pencemaran lingkungan oleh aktivitas ekonomi pasti akan meningkat dan harus ada kajian mendalam terkait kenaikan pajak karbon, karena lingkungan adalah hal yang sangat penting untuk keberlangsungan generasi mendatang dan tidak dapat ditakar dengan materi atau uang. Dengan adanya pajak karbon yang sesuai, setidak akan menyesuaikan dengan dampak yang diterima oleh masyarakat, lingkungan hidup dan memberikan dorongan kepada para pelaku aktivitas ekonomi untuk memilih cara yang pro terhadap lingkungan dalam kegiatannya kedepan serta menerapkan pengendalian terhadap emisi karbon dengan memakai instrument emission trading system (ETS) yang banyak diterapkan di negara Anglo-Saxon dan Eropa Kontinental.
Pajak karbon juga dapat menjadi pendekatan berbiaya rendah untuk mengurangi emisi karbon, tetapi tantangan kedepan yang dialami oleh negara yang menerapkannya adalah sering dibatasi oleh akseptabilitas publik. Sehingga diperlukan sosialisasi yang baik dan pemberian pemahaman yang cukup agar penerapan pajak karbon ini dapat berjalan sebagaimana mestinya. Untuk meningkatkan dukungan publik terhadap pajak karbon perlu dilakukan hal-hal seperti berikut:
1. Penerapan pajak karbon secara bertahap dari waktu ke waktu, melalui tingkat pajak karbon awal yang rendah yang hanya berdampak kecil, dan akhirnya masyarakat lebih mampu memahami biaya dan manfaat karena telah mengenal pajak karbon seutuhnya;
2. Pengalokasian pendapatan pajak karbon untuk kegiatan-kegiatan mitigasi perubahan iklim;
3. Peningkatan keadilan melalui struktur perpajakan secara progresif;
4. Penyediaan informasi dan komunikasi oleh pembuat kebijakan.(**)
Penulis Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu